Pengertian
Sosiologi
Oleh : Didik Setiawan
a. Berdasarkan etimologi
(kebahasaan/asal kata)
Secara kebahasaan nama sosiologi
berasal dari kata socious, yang artinya ”kawan” atau ”teman” dan logos,
yang artinya ”kata”, ”berbicara”, atau ”ilmu”. Sosiologi berarti berbicara atau
ilmu tentang kawan. Dalam hal ini, kawan memiliki arti yang luas, tidak seperti
dalam pengertian sehari-hari, yang mana kawan hanya digunakan untuk menunjuk
hubungan di anatra dua orang atau lebih yang berusaha atau bekerja bersama.
Kawan dalam pengertian ini merupakan hubungan antar-manusia, baik secara
individu maupun kelompok, yang meliputi seluruh macam hubungan, baik yang
mendekatkan maupun yang menjauhkan, baik yang menuju kerpada bentuk kerjasama
maupun yang menunu kepada permusuhan.
Jadi, sosiologi adalah ilmu tentang
berbagai hubungan antar-manusia yang terjadi di dalam masyarakat. Hubungan
antar-manusia dalam masyarakat disebut hubungan sosial.
b. Definisi menurut para ahli
sosiologi
Secara umum sosiologi dapat diberi
batasan sebagai studi tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan
masyarakat.
Berikut dikemukakan definisi
sosiologi dari beberapa ahli sosiologi.
- Van der Zanden memberikan batasan bahwa sosiologi merupakan studi ilmiah tentang interaksi antar-manusia.
- Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antar-manusia dalam kelompok.
- Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari: (1) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya, (2) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya pengaruh iklim terhadap watak manusia, pengaruh kesuburan tanah terhadap pola migrasi, dan sebagainya, dan (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat
- Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam bukunya yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Struktur sosial merupakan jalinan
atau konfigurasi unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, seperti:
kelompok-kelompok sosial, kelas-kelas sosial, kekuasaan dan wewenang,
lembaga-lembaga sosial maupun nilai dan norma sosial. Proses sosial merupakan
hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur atau bidang-bidang kehidupan dalam
masyarakat melalui interaksi antar-warga masyarakat dan kelompok-kelompok.
Sedangkan perubahan sosial meliputi perubahan-perubahan yang terjadi pada
struktur sosial dan proses-proses sosial.
2. Sejarah dan Perkembangan
Sosiologi
a. Sejarah kelahiran sosiologi
Sebagai ilmu, sosiologi masih cukup
muda, bahkan paling muda di antara ilmu-ilmu sosial yang lain. Tokoh yang
sering dianggap sebagai Bapak Sosiologi adalah Auguste Comte, seorang
ahli filsafat dari Perancis yang lahir pada tahun 1798 dan meninggal pada tahun
1853. Auguste Comte mencetuskan pertama kali nama sociology dalam
bukunya yang berjudul Positive Philoshopy yang terbit pada tahun 1938.
Pada waktu itu Comte menganggap bahwa semua penelitian tentang masyarakat telah
mencapai tahap terakhir, yakni tahap ilmiah, oleh karenanya ia menyarankan
semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi ilmu yang berdiri
sendiri, lepas dari filsafat yang merupakan induknya. Pandangan Comte yang
dianggap baru pada waktu itu adalah bahwa sosiologi harus didasarkan pada
observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta
spekulasi.
Di samping mengemukakan istilah
sosiologi untuk ilmu baru yang berasal dari filsafat masyarakat ini, Comte juga
merupakan orang pertama yang membedakan antara ruang lingkup dan isi sosiologi
dari ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Comte ada tiga tahap
perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap
sebelumnya. Tahap pertama dinamakan tahap theologis, kedua adalah
tahap metafisik, dan ketiga adalah tahap positif. Pada tahap pertama
manusia menafsirkan gejala-gelajala di sekelilingnya secara teologis, yaitu
dengan kekuatan adikodrati yang dikendalikan oleh roh, dewa, atau Tuhan
yang Maha Kuasa. Pada tahap kedua manusia mengacu pada hal-hal metafisik atau
abstrak, pada tahap ketiga manusia menjelaskan fenomena-fenomena ataupun
gejala-gejala dengan menggunakan metode ilmiah, atau didasarkan pada
hukum-hukum ilmiah. Di sinilah sosiologi sebagai penjelasan ilmiah mengenai
masyarakat.
Dalam sistematika Comte, sosiologi
terdiri atas dua bagian besar, yaitu: (1) sosiologi statik, dan (2) sosiologi
dinamik. Sosiologi statik diibaratkan dengan anatomi sosial/masyarakat,
sedangkan sosiologi dinamik berbicara tentang perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat.
b. Perkembangan Sosiologi setelah
Comte
Istilah sosiologi menjadi lebih
populer setelah setengah abad kemudian berkat jasa dari Herbert Spencer,
ilmuwan Inggris, yang menulis buku berjudul Principles of Sociology
(1876), yang mengulas tentang sistematika penelitian masyarakat.
Perkembangan sosiologi semakin
mantap, setelah pada tahun 1895 seorang ilmuwan Perancis bernama Emmile
Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological
Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim menguraikan
tentang pentingnya metodologi ilmiah dan teknik pengukuran kuantitatif di dalam
sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Misalnya dalam kasus bunuh diri (suicide).
Angka bunuh diri dalam masyarakat yang cenderung konstan dari tahun ke tahun,
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar individu. Dalam suatu jenis
bunuh diri yang dinamakan altruistic suicide disebabkan oleh
derajat integrasi sosial yang sangat kuat. Misalnya dalam satuan militer, dapat
saja seorang anggota mengorbankan dirinya sendiri demi keselematan satuannya.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang derajat integrasi sosialnya rendah, akan
mengakibatkan terjadinya bunuh diri egoistik (egoistic suicide).
Derajat integrasi sosial yang rendah dapat disebabkan oleh lemahnya ikatan
agama ataupun keluarga. Seseorang dapat saja melakukan bunuh diri karena tidak
tahan menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, di lain sisi ia merasa
tidak mempunyai ikatan apapun dengan anggota keluarga atau masyarakat yang
lain. Pada masyarakat yang dilanda kekacauan, anggota-anggota masyarakat yang
merasa bingung karena tidak adanya norma-norma yang dapat dijadikan pedoman
untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan hidupnya, dapat saja melakukan bunuh diri
jenis anomie (anomic suicide). Berbagai macam jenis bunuh diri
ini, oleh Durkheim dinyatakan sebagai peristiwa yang terjadi bukan karena
faktor-faktor internal individu, melainkan dari pengaruh faktor-faktor
eksternal individu, yang disebut fakta sosial..
Banyak pihak kemudian mengakui bahwa
Durkheim sebagai ”Bapak Metodologi Sosiologi”. Durkheim bukan saja mampu
melambungkan perkembangan sosiologi di Perancis, tetapi bahkan berhasil
mempertegas eksistensi sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilimiah
(sains) yang terukur, dapat diuji, dan objektif.
Menurut Durkheim, tugas sosiologi
adalah mempelajari apa yang disebut fakta sosial. Fakta sosial adalah cara-cara
bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berasal dari luar individu, tetapi
memiliki kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Fakta sosial dapat berupa
kultur, agama, atau isntitusi sosial.
Perintis sosiologi yang lain adalah Max
Weber. Pendekatan yang digunakan Weber berbeda dari Durkheim yang lebih
menekankan pada penggunaan metodologi dan teknik-teknik pengukuran kuantitatif
dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu. Wever lebih menekankan pada
pemahaman di tingkat makna dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor
internal individu. Misalnya tentang tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan
perilaku individu yang diorientasikan kepada pihak lain, tetapi bermakna
subjektif bagi aktor atau pelakunya. Makna sebenarnya dari suatu tindakan hanya
dimengerti oleh pelakukunya. Tugas sosiologi adalah mencari penjelasan tentang
makna subjektif dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh individu.
3. Karakteristik Sosiologi
Sebagai ilmu, sosiologi memiliki
sifat hakikat atau karakteristik sosiologi:
- Merupakan ilmu sosial, bukan ilmu kealaman ataupun humaniora
- Bersifat empirik-kategorik, bukan normatif atau etik; artinya sosiologi berbicara apa adanya tentang fakta sosial secara analitis, bukan mempersoalkan baik-buruknya fakta sosial tersebut. Bandingkan dengan pendidikan agama atau pendidikan moral.
- Merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, artinya bertujuan untuk menghasilkan pengertian dan pola-pola umum dari interaksi antar-manusia dalam masyarakat, dan juga tentang sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat.
- Merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science), bukan ilmu pengetahuan terapan (applied science)
- Merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak atau bersifat teoritis. Dalam hal ini sosiologi selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat sehingga menjadi teori.
4. Kegunaan Sosiologi dan Peran
Sosiolog
Sosiologi dipelajari untuk apa?
Dengan pertanyaan lain mengapa kita belajar sosiologi? Pertanyaan-pertanyaan
itu dapat dijawab dengan uraian tentang peran sosiolog (ahli sosiologi) berikut
ini.
Sebenarnya di mana dan sebagai apa
seorang sosiolog dapat berkiprah, tidak mungkin dapat dibatasi oleh
sebutan-sebutan dalam administrasi okupasi (pekerjaan/mata pencaharian) resmi
yang dileluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di beberapa negara telah
muncul pengakuan yang kuat terhadap sumbangan dan peran sosiolog di berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan.
Horton dan Hunt (1987) menyebutkan
beberapa profesi yang pada umumnya diisi oleh para sosiolog.
- Ahli riset, baik itu riset ilmiah (dasar) untuk perkembangan ilmu pengetahuan ataupun riset yang diperlukan untuk kepentingan industry (praktis)
- Konsultan kebijakan, khususnya untuk membantu untuk memprediksi pengaruh sosial dari suatu kebijakan dan/atau pembangunan
- Sebagai teknisi atau sosiologi klinis, yakni ikut terlibat di dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan dalam masyarakat
- Sebagai pengajar/pendidik
- Sebagai pekerja sosial (social worker)
Di luar profesi yang telah
disebutkan oleh Horton dan Hunt tersebut, tentu saja masih banyak profesi lain
yang dapat digeluti oleh seorang sosiolog. Banyak bukti menunjukkan, bahwa
dengan kepekaan dan semangat keilmuannya yang selalu berusaha membangkitkan
sikap kritis, para sosiologi banyak yang berkarier cemerlang di berbagai bidang
yang menuntut kreativitas, misalnya dunia jurnalistik. Di jajaran birokrasi,
para sosiolog sering berpeluang menonjol dalam karier karena kelebihannya dalam
dalam visinya atas nasib rakyat.
Seiring dengan perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat, keterlibatan para sosiolog di berbagai bidang
kehidupan akan semakin penting dan sangat diperlukan. Perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat akan menuntut penyesuaian dari segenap komponen
masyarakat yang menuntut kemampuan mengantisipasi keadaan baru. Para sosiolog
pada umumnya unggul dalam hal penelitian sosial, sehingga perannya sangat
diperlukan.